Trending

Tanya & Jawab

Blog

Galeri

Teman jalan

Tour & Travel

Tujuan Wisata

Tags

Gunung Pulosari, Pertama yang Memesona.

imanro
imanro, pada 7 Jan. 2015, 8.19
di Blog

Pandeglang, 28 Februari 2011.

“Jika kalian hanya belajar, belajar, dan belajar selama kuliah disini, maka bersiaplah kalian kehilangan masa muda kalian yang akan kalian sesalkan di hari tua nanti”. Begitulah kira-kira pernyataan yang diberikan seorang dosen yang ternyata saat ini saya iyakan kebenarannya. Berasaskan kalimat dosen itu, saya tidak ingin membuang waktu enerjik saya hanya dengan belajar, apalagi belajar ilmu hayati yang tidak disukai orang-orang—termasuk saya kala itu. Perjalanan pertama langsung saya mulai di semester pertama, seorang teman menawarkan kepada saya untuk berlibur ke rumahnya, tanpa mengetahui bahwa saya akan diajaknya ke tempat yang tidak akan saya duga sebelumnya.

Gelap, sejuk, romantis, menenangkan. Begitulah saya dapat deskripsikan kala kaki ini menapak pertama kali di kota Pandeglang, Banten. Saya terpesona dengan eksotisnya si Alun-alun yang seolah memanggil-manggil saya yang sedang duduk rapat di dalam angkot. Air dingin jernih berbentuk bulir kecilpun menemani lari-lari kecil kami menuju tempat berteduh, air yang membasahi ujung rambut sehingga membentuk kiasan menyegarkan. Hingga tibalah saya di sebuah rumah sederhana yang memojokkan diri di sudut kota Pandeglang, di kaki gunung Pulosari.


Bersama dengan turunnya uap air menjadi embun di rerumputan gajah, kamipun beranjak keluar menuju lanskap keindahan Pandeglang. Setiba di pintu masuk Pulosari kami membayar dana retribusi sepuluh ribu rupiah per jiwa, sangat murah untuk menjamin keselamatan saya di atas sana. Sangat tak terpikirkan bahwa gunung seperti inilah yang akan saya daki. Gunung setinggi 1.346 meter di atas permukaan laut ini memiliki trek yang luar biasa melelahkan bagi pemula seperti saya. Bagaimana tidak? Setelan yang saya kenakan tak lebih dari kaus berkerah, sweater, celana jins, dan sepatu kets, ditambah hanya berbekal air mineral 600 mL. Sangat amatir. Trek pertama disambut dengan jalan manis yang menanjak secara lemah lembut membawa saya dan teman saya ke lereng Pulosari, pemandangan di sekitarpun masih luas di jangkauan mata. Masuk sudah kami di daerah perhutanan dan vegetasi gunung yang sangat kental dengan hal-hal rimba. Tidak ada pohon pinus disini, benar-benar pohon ala rimba seperti jati, angsana, mahoni, dan pohon-pohon merambat yang seolah-olah menghalangi langkah kami menuju ke atas. Sungguh napas ini sudah memendek, baru kali ini saya mengalami dehidrasi dahsyat yang mencekat kerongkongan. Tidak terhitung berapa banyak kami beristirahat, hingga saya mendengar sebuah suara, suara yang sepertinya saya kenal, suara gesekan keras nan merdu antara air dan batu. Ya, terpampang di depan kami air terjun yang seketika mengguyur keringnya kerongkongan yang sekarat ini. Curug Putri, air terjun ini mungil, kira-kira 120 meter tingginya. Tak menyia-nyiakan kesempatan, inilah tempat ternyaman bagi saya untuk beristirahat. Hingga keringat di kulit leher bercampur dengan air curug membentuk kilauan absurd.
Puas beristirahat dengan sang dewi air, kami melanjutkan pendakian. Bertumpu pada sebatang tongkat jati kecil saya melangkah lebih pasti dari sebelumnya. Hingga tiba-tiba teman saya memandang ke belakang dengan sengaja seolah membuat saya penasaran akan apa yang ditatap sedemikian nanarnya. Ternyata pandangan yang ia lihat dan sekarang menjadi penglihatan saya adalah sebuah pemandangan yang benar-benar memesona. Pemandangan dinamis yang menampilkan sekelompok awan membentuk tirai mahaluas menutupi jarak pandang saya, namun perlahan oleh angin, awan tersebut terbelah dengan sangat cantik dan terpampanglah lukisan yang menggambarkan lautan lepas yang membirukan mata siapa saja yang memandangnya, burung-burung besar yang terlihat sangat kecil bolak-balik membentuk pola melingkar, serta awan-awan yang saling membelah satu sama lain membuat saya lupa bahwa saya sedang di atas gunung. Sungguh memesona, Tuhan.

Kami melanjutkan pendakian setelah puas menemukan dua keindahan di belakang jejak kami. Mata ini semakin mencari-cari keindahan lain yang saya khawatirkan akan terlewati, kaki ini melangkah semakin pasti dan bersiap menopang tanah yang lebih tinggi, dan hati ini semakin gencar memohon keselamatan dan bersyukur kepada sang Maha Besar yang telah menciptakan anggunnya gunung ini. Mata ini sumringah ketika melihat suatu tanda-tanda akan adanya keindahan berikutnya, tertulis pada pelat kuning lusuh dengan tinta hitam “kawah pulosari”. Kawah? Apa itu kawah yang dimaksud? Itulah pertanyaan awam yang saya pikirkan ketika melihat tanda itu. Beberapa puluh langkah berikutnya sampailah kami di kawah yang dimaksud. Ternyata kawah belerang yang masih aktif keberadaannya. Membentuk sebuah ilusi indera perasa dan penglihat, dimana kulit merasa dingin luar biasa namun mata ini melihat adanya asap yang sangat identik dengan energi panas. Terlihat juga beberapa pendaki lain sedang istirahat sembari memainkan alat musik petik yang mereka bawa untuk menghangatkan suasana—ya, sayapun mampu merasakan hangat yang mereka ciptakan. Sayang seribu sayang, kami tidak ada nyali untuk melanjutkan langkah kaki menuju puncak Pulosari karena keadaan medan yang semakin tidak bersahabat pada kaki kami. Dengan pertimbangan tidak mengetahui trek dan minimnya perbekalan yang kami bawa. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke bawah, pulang menuju permukaan bumi yang lebih datar. Pulang menuju rumah untuk kembali bersujud ke hadapan Tuhan atas indah ciptaanya yang telah diizinkan kepada saya untuk menikmatinya. Terimakasih Tuhan, telah menciptakan gunung Pulosari yang memesona. Alhamdulillah.


Silakan login atau mendaftar untuk mengirim komentar

© backpackerindonesia.com